Selasa, 19 Mei 2009

Tes, Pengukuran dan Evaluasi

Tanggal : Juli 27, 2008
Oleh : Pakde sofa
Sumber : http://massofa.wordpress.com

Dalam kehidupan profesionalnya sehari-hari seorang guru tidak mungkin melepaskan dirinya dan kegiatan memberikan ulangan atau juga dikenal dengan nama tes. Biasanya kegiatan itu dilakukan pada waktu-waktu tertentu. Kadang kala dilakukan secara teratur setiap satu bulan. Ada pula yang dilakukan secara teratur pada setiap akhir suatu unit atau satuan pelajaran tertentu. Juga kadang kala dilakukan pada setiap akhir suatu pertemuan kelas. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari kegiatan ulangan atau tes tersebut kemudian guru membuat keputusan-keputusan. Keputusan tentang siswa, keputusan tentang proses belajar-mengajar,keputusan tentang rencana pelajaran, keputusan tentang mated pelajaran, metode pengajaran dan sebagainya. Sering memangbahwa keputusan yang diambil tidaklah sebanyakdaftar yang ada atau yangseharusnya dilakukan. Tetapi tak dapat dibantah bahwa keputusan demi keputusan diambil oleh guru setelah melakukan tes.
Tes itu sendiri diberikan karena ada anggapan bahwa setiap orang (siswa) berbeda. Anggapan yang demikian bersifat universal dan merupakan anggapan yang tidak terbantah lagi. Bukti-bukti empirik banyak dan tak terkira untuk dapat mendukung anggaran tersebut. Dengan demikian, guru yang dalam hal ini berperan sebagai evaluator tak pernah ragu-ragu dalam melakukan kegiatan evaluasi.
Bagi masyarakat dan terutama orang tua siswa dan siswa itu sendiri adanya kegiatan ulangan dan tes telah pula menjadi bagian hidupnya yang rutin (berkala). Sejak orang tua mendaftarkan dirinya dari perkataan tes, ulangan dan sebagainya. Tampaknya dalam kehidupan saat sekarang ini tak dapat dibayangkan orang hidup tanpa terlibat dengan kegiatan evaluasi.
Setiap orang ingin mengetahui sampai sejauhmana ia telah dapat memenuhi tujuan yangdiharapkan. Guru ingin mengetahui apakah siswanya telah menguasai apa yang telah diajarkan.Orang tua ingin pula mengetahui sampai sejauh mana anaknya mengalami kemajuan dalam beiajar. Masyarakat ingin pula tahu sampai sejauhmana tingkat prestasi beiajar siswa secara umum sehingga dapat menentukan kualitas pendidikan yang ada (konsep kualitas pendidikan di sini sangat disederhanakan).
Kemudian, apa sesungguhnya yang dimaksudkan dengan evaluasi? Dalam kenyataan sehari-hari, seperti yang dilukiskan dalam uraian terdahulu, orang sering mencampur adukan antara tiga istilah yang berhubungan satu sama lain tapi tak sama. Ketiga istilah tersebut ialah tes, pengukuran, dan evaluasi.
Kalau orang berbicara tentang tes maka seringkali yang dimaksud ialah evaluasi. Demikianpula sebaliknya. Juga kalau orang berbicara tentang istilah pengukuran. Ada kalanya yang dimaksudkan ialah evaluasi tapi tak jarang pula pembicaraan tersebut sebetulnya adalah mengenai tes.
Ketiga istilah itu akan dikaji satu persatu dalam uraian berikut ini hingga diharapkan Anda akan dapat melihat secara jelas persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan antara ketiganya. Dengan wawasan yang baik terhadap ketiga istilah tersebut diharapkan Anda dapat mempergunakannya secara baik dalam pelaksanaan tugas profesi guru Anda. Artinya, Anda dapat merencanakan kegiatan evaluasi hasil belajar yang menjadi tanggungjawab Anda dengan baik apabila Anda mempunyai konsepsi yang jelas mengenai ketiganya. Jadi bukan hanya sekedar agar Anda dapat mempergunakannya secara tepat dalam kehidupan sehari-hari.
Evaluasi sebagai suatu istilah teknis dalam dunia pendidikan masih merupakan suatu fenomena baru. Usaha evaluasi yangsistematis seperti yang dikembangkan pada saat ini belum berlangsung lama. Kegiatan sistematis untuk evaluasi belum berusia satu abad penuh (100 tahun) ketika usaha tersebui pertama kali dilakukan oleh Rice pada akhir abad ke-19. Pada waktu itu Rice melakukan penelitian mengenai hasil belajar siswa menurut model yang kita kenal seperti saat kini.
Istilah tersebut menjadi bertambah terkenal setelah belahan kedua abad ke-20 ini. Tyler yang pada mulanya masih mempergunakan istilah pengukuran (measurementa) kemudian mempergunakaa istilah evaluasi. Sejak saat itu istilah evaluasi menguasai buku-buku teks pendidikan. Sejalan dengan popularitas pemakaian istilah itu berkembang pula bermacam-macam pengertian terhadap kata evaluasi. Tidak jarang pengertian yang dianut oleh setiap penulis terhadap istilah itu bertentangan satu dengan lainnya (Renzuli, 1974:49; Jenkins, 1976:6).
Contoh-contoh berikut ini kiranya cukup untuk menggambarkan perbedaan-perbedaan tersebuL Bagi Tyler (1949), Cronbach (1963), Taylor dan Maguire (1966), Scriven (1967), dan Stake (1967). evaluasi adalah suatu kegiatan untuk menentukannilai suatu program. Stake, umpamanya,mengatakan: bahwa evaluasi adalah: inquiries into the worth of any intructionai program. Such inquiries depandom directassesstnent, on objective testing and on subjective judgement, (penelitian terhadap harga/nilai setiap program pengajaran. Penelitian tersebut sangat tergantung dari penilaian langsung, tes yang objektif dan atas pertimbangan yang subjektif). Jadi jelas bahwa menurut Stake dalam satu kegiataa penilaian yang langsung dilakukan oleh orang yang mengadakan evaluasi, persyaratan ini penting dilaksanakan untuk menjamin agar data yang diperoleh adalah data yang benar-benar berasal dan sumber data yang dimaksud.
Juga Stake mempersyaratkan agar suatu evaluasi didasarkan atas data yang diperoleh dari sesuatu yang bersifat objektif. Pengertian objektif di sini lebih mengarahkan kepada pengertian bahwa tes tersebut tidak mencerminkan adanya bias pribadi evaluator dan bias pribadi orang yang dites. Team saja harus diakui bahwa objektivitas yang sepenuhnya adalah sesuatu yang sukar atau tidak mungkia dicapai. Jadi menurut Stake, pengamatan langsung itu harus pula memenuhi kriteria objektivitas.
Persyaraian ketiga yang dikemukakan oleh Stake ialah adanya pertimbangan yang subjektif Tampaknya secara sepintas, kriteria ketiga dan kedua dari Stake ini bertentangan. Sebetulnya tidak. Kriteria kedua berhubungan dengan data yang dikumpulkan sedangkan kriteria ketiga berkenaaa dengan penentuan harga atau nilai terhadap data objektif yang dikumpulkan. Tahap subjektive judgement ini sebetulnya adalah tahap akhir dari suatu kegiatan evaluasi. Dalam pembicaraan kita mengenai ruanglingkup evaluasi nanti akan juga dibahas mengenai langkah pemberian pertimbangan ini. Untuk para ahli di atas, langkah ini sangat penting dan bahkan merupakan karakteristik utama evaluasi. Dari langkah ini dihasilkan keputusan mengenai nilai suatu program yangsedangdievaluasi.
Sedangkan Bloom dan kawan-kawannya dalam bukunya yang terkenal yaitu Handbook on Formative and Summative Evaluation for Student Learning yang khusus membicarakan mengenai evaluasi hasil belajar. Mereka mengemukakan bahwa evaluasi adalah: pengumpulan bukti-bukti yang cukup untuk dijadikan dasar dalam menetapkan ada tidaknya perubahan dan tingkat perubahan yang terjadi pada diri anak didik. Perhatikan perkataan untuk menetapkan ada tidaknya perubahan yang merupakan rumusan lain dari pengambilan keputusan. Pada waktu seseorang mengatakan bahwa terjadi j suatu perubahan sebenarnya ia telah menentukan suatu keputusan.
Apakah perubahan itu harus selalu berarti dalam pengertian bahwa harus merupakan suatu perubahan yang besar? Definisi evaluasi tidak mengatakan demikian. Perubahan yang dapat dikenal mungkin saja hanya kecil tapi juga mungkin sangat besar. Hal ini sejalan dengan definisi belajar yang mengatakan bahwa belajar baru terjadi apabila terjadi perubahan tingkah laku pada peserta didik (siswa). Sekecil apapun perubahan yang terjadi apabila dapat kita kenali maka kita dapat mengatakan bahwa perubahan telah terjadi, artinya belajar telah terjadi.
Membandingkan definisi yangdikemukakan oleh Bloom dan kawan-kawan itu serta definisi belajar akan nampak bahwa sebetulnya yang ingin diketahui oleh suatu kegiatan evaluasi ialah apakah belajar telah terjadi pada diri siswa. Di samping itu, harus kita ketahui bahwa setiap siswa mempunyai perbedaan, meskipun waktu yang diberikan sama dan pengalaman belajarnya sama. Melalui kegiatan evaluasi ini ingin pula kita mengetahui sampai sejauhmana perubahan tingkah laku dalam belajar itu telah terjadi. Perubahan itu dapat saja dalam salahsatu aspek belajar tapi dapat juga mencakup berbagai aspek belajar. Disinilah nanti pentingnya hubungan antara evaluasi dengan komponen tujuan yang akan dibicarakan dalam modul kedua dari program ini.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa evaluasi adalah suatu kegiatan pengumpulan data fcengenai hasil belajar yang dilakukan secara sistematis dan menurut program tertentu untuk dapat kemberikan arti mengenai berbagai aspek belajar. tentunya aspek belajar yang dimaksud adalah aspek hasil belajar.
Istilah Pengukuran
Untuk membicarakan mengenai istilah pengukuran baiklah kita kembali sebentar kepada istilah raluasi yang baru saja kita kaji. Dari beberapa pengertian evaluasi yang dikemukakan, baik yang Sambil dari umum seperti Stake, pengertian khusus seperti yang dikemukakan oleh Bloom dan kawan-iwannya, maupun dari kesimpulan kita mengenai istilah tersebut, terlihat bahwa dalam suatu evaluasi irus ada yang dikumpulkan menurut prosedur tertentu. Stake secara langsung menyebutkannya ebagai pengukuran sedangkan Bloom dan kawan-kawansertadefinisi yang kita ajukan menyebutkannya sebagai pengumpulan bukti-bukti atau data. Tentu saja segera terlihat bahwa perkataan pengumpulan ikti-bukti atau data adalah istilah yang lebih umum dari perkataan pengukuran yang dikemukakan Stake. Dengan perkataan lain, Stake mengemukakan kata pengukuran secaraeksplisit sedangkan yang lain secara implisit.
Pengungkapan pengertian pengukuran secara implisit ini memang disengaja. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa pengukuran bukanlah satu-satunya cara untuk kegiatan evaluasi tetapi hanya merupakan salah satu cara saja. Perkembangan bidang studi hasil belajar terakhir menunjukkan bahwa evaluasi yang hanya bertopang pada pengukuran menyebabkan keterbatasan kegiatan evaluasi itu sendiri, terlebih-lebih apabila kita berhubungan dengan evaluasi hasil belajar. Akhirnya Stake sendiri dalam tulisannya mulai menanggalkan persyaratan pengukuran seperti yang dimaksudkan dalam suatu kegiatan evaLuasi.

Kalau pengukuran merupakan suatu aspek dari evaluasi maka tentu saja dapat dikatakan bahwa pengukuran tidak sama dengan evaluasi. Juga dapat diketahui bahwa evaluasi lebih luas dari pada pengukuran. Secara analogi sederhana dapat dikatakan bahwa apabila lembaran kertas adalah suatu halaman buku maka buku adalah lebih luas pengertiannya dari pada lembaran kertas. Demikian pula ahtara pengukuran dengan penilaian.
Untuk itu marilah kita kaji apa yang dikatakan oleh Popham (1975) dalam bukunya yang berjudul “Educationan evaluation”. Pada halaman 9 yang mengungkapkan bahwa: “measurement in education is merely the act of determining the degree to which an individual possess a certain attribute. Typically, we try to assign some type of numerical index to a person’s measured performance so thet we can more precisely represent that individual’s status with respect to the attribute of interest…. Measurement, at bottom, is status determination. Evaluation is worth determination”, (pengukuran dalam pendidikan hanyalah sekedar penentuan derajat yang dipunyai oleh seseorang mengenai sesuatu ciri tertentu.
Secara khusus kita mencoba memberikan sejenis indeks angka kepada peragaan tingkah laku yang diukur sehingga kita secara lebih tepat dapat menetapkan kedudukan yang bersangkutan berdasarkan ciri-ciri yang menjadi perhatian kita. Pada hakekatnya, pengukuran ialah penentuan kedudukan. Evaluasi adalah penentuan nilai/harga.

Apa yang dapat kita ambil dari pernyataan Popham tersebut?
Pertama, adalah jelas bahwa pengukuran hanya membicarakan masalah kedudukan seseorang yang sedangdikaji. Bagaimanakah kedudukannyadi kelas berdasarkan hasil pengukuran yang kita lakukan. Apakah ia termasuk anak yang berada di tingkat teratas, menengah, bawah dan sebagainya. Ini terjadi kalau melakukan pengukuran dengan memakai patokan norma.
Juga kita dapat menentukan kedudukan seseorang berdasarkan posisinya terhadap patokan kriteria tanpa membandingkannya dengan orang lain. Ini terjadi kalau patokan norma tidak kita pergunakan. Kedua patokan ini akan kita bicarakan secara lebih khusus pada kesempatan lain.
Hal kedua yang dapat kita peroleh dari pernyataan Popham tersebut ialah bahwa pengukuran berhubungan dengan angka. Pengertian angka di sini tidaklah pengertian harfiah. Jadi tidak selalu dalam arti angka 1,2,3 dan seterusnya seperti yang secara tradisional kita kenal. Juga termasuk dalam pengertian angka apabila kita mempergunakan huruf A, B, C, dan seterusnya. Dalam kedua pengertian ini apakah yang kita pergunakan itu ialah rentangan angka 1 -10,10 -100,1 – 9, A – G, dan sebagainya tidaklah menjadi soal. Yangterpentingdari hasil pengukuran itu adasuatu sistem angka yangdiberikan.
Di sinilah letak permasalahannya mengapa dal am definisi yang diajukan dalam modul ini perkataan pengukuran tidak dinyatakan secara eksplisit. Apabila perkataan itu dinyatakan secara eksplisit (tersurat) maka kegiatan evaluasi hanya mendasarkan diri pada pemberian angka-angka sepetti itu. Sesuatu yang tidak dimulai dengan angka tidak akan sampai kepada evaluasi. Sedangkan kita tidak berpendapat demikian. Evaluasi dapat dilakukan walaupun tanpa melalui proses pemberian angka. Seorang guru tetap dapat melakukan evaluasi berdasarkan data-data atau informasi apapun. Apabila seorang guru melihat catatan harian siswa, ataupun membuat catatan mengenai prilaku siswa sehari-hari maka tidaklah merupakan suatu hal yang mutlak bahwa ia harus memberikan angka terhadap catatan atau perilaku tersebut.
Jadi dari keterangan yang diberikan oleh Popham tersebut bahwa terdapat perbedaan antara evaluasi dengan pengukuran. Walaupun tidak selalu perlutapi kegiatan evaluasi melingkupi kegiatan pengukuran. Artinya, kalau seorang guru baru melakukan pemberian angka kepada siswa makaberarti guru tersebut baru melakukan kegiatan pengukuran dan belum melakukan kegiatan evaluasi. Kalau guru tersebut kemudran memberikan art! lebih lanjut terhadap angka yang diberikan dalam arti harga dari angka tersebut barulah guru tersebut melakukan pekerjaan evaluasi secara lengkap.

Contoh
Untuk dapat memahami persamaan dan perbedaan antara istilah-istilah evaluasi, pengukuran dan tes di sini diberikan suatu contoh. Walaupun dalam contoh ini ada persamaan dengan realita di sekolah tetapi contoh ini sepenuhnya adalah merupakan suatu lukisan hipotesis. Artinya, contoh tersebut dibuat berdasarkan hasi I rekaan dari kenyataan-kenyataan yang ada. Oleh karenany a, contoh yang dikemukakan di sinibukanlah mengenai seseorang tertentu. Apabila terdapat persamaan yang persis maka itu adalah suatu unsur kebetulan saja.
Suatu waktu pak Ahmad memutuskan akan memberikan tes kepada siswa-siswanya. Tes ini ialah mengenai topik Kerjasama Intemasional. Tujuannya ialah untuk mengetahui tingkat penguasaan materi siswa terhadap topik tersebut sehingga ia dapat mengambil keputusan mengenai apa yang harus dilakukannya. Kemudian dengan topik tersebut timbul pertanyaan yang ingin dijawabnya, yaitu apakah topik ini memerlukan perbaikan dalam persentasinya, apakah topik tersebut layak untuk diteruskan dan sebagainya.
Untuk mencapai tujuan tersebut maka melalui prosedur tertentu pak Ahmad menyusun serangkaian pertanyaan. Setelah pertanyaan-pertanyaan yang tersusun dengan baik dianggap cukup memenuhi persyaratan maka pak Ahmad memperbanyak rangkaian pertanyaan-pertanyaan tadi dan kemudian membagikannya kepada siswa-siswanya. Kepada siswa diberikan batas waktu tertentu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.
Jawaban siswa terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut diolah oleh pak Ahmad melalui prosedur tertentu. Hasilnya memberikan keterangan kepada pak Ahmad mengenai kedudukan setiap siswa terhadap pencapaian tujuan pelajaran dan juga kedudukan siswa dibandingkan dengan siswa lainnya. Selain itu pak Ahmad juga menentukan kebaikan dan keburukan pengajaran yang telah dilakukan mengenai topik itu.
Contoh di atas memperlihatkan adanya pemakaian istilah tes, pengukuran dan evaluasi. Tes ialah daftar pertanyaan yang diberikan pak Ahmad kepada siswanya untuk dapat mengambil keterangan mengenai hasil belajar siswanya. Pengukuran yaitu penentuan status seorang siswa dibandingkan dengan siswa lainnya. Evaluasi ialah kegiatan yang dilakukan pak Ahmad pada waktu ia menentukan kebaikan dan keburukan program tersebut. Tak pelak lagi, walaupun didasarkari atas data pada waktu menentukan kebaikan dan buruknya tersebut pak Ahmad juga dipengaruhi oleh faktor subjektivitasnya sebagai guru yang mengajarkan topik tersebut.

Renungan terhadap Hasil Evaluasi Belajar
Kamis, 14 Juli 2005
Oleh : Edy Yusmin

HASIL evaluasi belajar (kelulusan) siswa dijenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah cukup memprihatinkan, baik bagi siswa, orangtua, maupun masyarakat umumnya. Bahkan seorang pengamat pendidikan mengatakan bahwa kenyataan ini menunjukkan mutu pendidikan di Kalbar masih rendah. Ironisnya beberapa waktu sebelumnya ada sebagian pejabat terkait mengatakan optimis UAN meningkat dan lebih baik dari tahun sebelumnya (Pontianak Post, 7 Juni 2005), Diknas Kalbar Optimis Siswa Lulus 99 Persen (Pontianak Post, 13 Juni 2005), Dewan dan Diknas Kota Optimis Siswa SD Lulus 100 Persen (Pontianak Post, 14 Juni 2005).
Namun dibalik kenyataan tersebut, semua komponen yang merasa terlibat dengan proses pendidikan di Kalbar ini perlu melakukan renungan dan evaluasi diri masing-masing, serta tidak saling menyalahkan atau melempar tanggungjawabnya.
Para pakar pendidikan mengatakan bahwa keberhasilan belajar dipengaruhi oleh berbagai komponen. Oleh karena itu setiap pihak terkait perlu merenungkan apa saja yang telah dilakukan selama ini?
Bagi para pendidik sebagai tenaga lapangan yang terlibat langsung dengan proses pembelajaran, apakah benar telah melaksanakan tugas sesuai dengan tuntutan profesinya? Apakah benar yang telah dipaparkan dari hasil penelitian bahwa sebagian guru belum atau tidak sering melakukan evaluasi-evaluasi formatif? Pernahkah para guru mencermati kesulitan belajar siswanya dan faktor penyebabnya? Bagi guru-guru yang telah mengikuti pelatihan-pelatihan peningkatan mutu, apakah pernah atau sering menerapkan hasilnya setelah kembali dari pelatihan?
Ketika dilakukan peninjauan kebeberapa sekolah, ternyata tidak begitu tampak perbedaan aktivitas pembelajaran yang dilakukan antara guru yang telah mengikuti suatu pelatihan dengan guru yang sama sekali belum mengikuti pelatihan. Bahkan ada guru/sekolah yang baru siap dengan media pembelajarannya ketika dikunjungi/ditinjau. Namun ada juga para pendidik di suatu sekolah sudah siap dengan perubahan/kebijakan yang sedang dilakukan.
Bagi para Kepala Sekolah yang bertugas memfasilitasi kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru, apakah benar-benar sudah memberikan fasilitas yang layak dan memadai? Apakah para Kepala Sekolah tahu media/alat pembelajaran yang dibutuhkan para guru dengan mencermati media/alat yang tercantum di setiap Rencana Pembelajaran yang dibuat guru? Kenyataan dilapangan menunjukkan ada sebagian guru di salah satu SMP yang mengeluh karena harus menyediakan alat /media pembelajaran sendiri, atau memfotocopy sendiri bahan yang akan dibagikan kepada siswanya. Apakah dana-dana hibah untuk peningkatan mutu seperti BOMM telah digunakan secara tepat?
Bagi para penilik dan pengawas yang bertanggung jawab dalam memonitoring dan mengevalausi proses pembelajaran oleh guru, apakah benar telah melaksanakan tugasnya sesuai dengan jabatan pengawas? Apakah benar yang dipaparkan dari hasil penelitian bahwa pengawas/penilik sebagian besar hanya melakukan monitoring dibidang administratif? Apakah pembagian waktu tugasnya di lapangan sudah proporsional?
Pejabat dinas terkait perlu merenungkan apakah telah menempatkan kepala-kepala sekolah secara tepat dan benar, sehingga diharapkan mampu mengelola unit sekolahnya dan dapat memberdayakan para guru? Apakah telah memberikan dukungan yang memadai demi terciptanya proses pembelajaran yang berkualitas? Apakah pertanyaan-pertanyaan optimis di atas punya dasar yang kuat?
Bagi para anggota tim penyusun alat evaluasi, apakah instrumen yang disusun telah memenuhi kriteria sebagai alat instrumen yang baik atau valid, ataukah instrumen evaluasi dibuat mengukur kemampuannya sendiri yang sudah menjadi sarjana? Apakah sudah dilakukan analisis terhadap standar penguasaan minimal materi bagi siswa yang mengikutinya di setiap jenjang pendidikan dalam menyusun evaluasi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar