Rabu, 20 Mei 2009

Pembiayaan Pendidikan, Tanggung Jawab Siapa?

Oleh : Hendra Sugiantoro
Tanggal : 24-Jul-2007, 20:27:29 WIB
Sumber : [www.kabarindonesia.com]

KabarIndonesia - Permasalahan pendidikan nasional tak pernah usai. Lebih khusus lagi jika menyangkut masalah pembiayaan pendidikan, siapa pun mengakui makin mahalnya biaya untuk memasuki jenjang pendidikan saat ini. Memang tidaklah salah jika dikatakan pendidikan bermutu membutuhkan biaya. Namun persoalannya, daya finansial sebagian masyarakat di negeri ini masih belum memadai akibat sumber pendapatan yang tak pasti.

Fenomena pendidikan yang menyedot biaya begitu besar dari masyarakat ini juga sempat terlihat saat pendaftaran siswa baru (PSB) beberapa waktu lalu. Orangtua siswa pun dibuat meradang mengenai biaya yang harus ditanggung dalam menyekolahkan anaknya. Memang harus diakui jika Pemerintah tak lepas tangan membiayai pendidikan. Untuk bidang pendidikan khusus siswa SD-SMP, Pemerintah telah menggulirkan program bantuan operasional sekolah (BOS) untuk meringankan beban masyarakat miskin. Namun demikian, besaran dana BOS tetaplah terbatas. Apalagi jika bicara dana BOS khusus buku yang masih minim untuk membeli satu buku pelajaran berkualitas. Dengan masih terbatasnya dana BOS itu mungkin ada yang berdalih jika Pemerintah sekadar membantu dan meringankan beban masyarakat miskin. Jika benar demikian, maka Pemerintah bisa dikatakan tidak peka. Bukti konkret adalah angka drop out anak usia sekolah antara usia 7-12 tahun pada 2005 lalu. Hasil survei menyebutkan 185.151 siswa drop out dari sekolah. Padahal, siapa pun tahu jika program BOS mulai dirintis sejak 2005.

Dalam hal ini, kita perlu memikirkan bersama persoalan pembiayaan pendidikan. Di lihat dari konstitusi, Pemerintah bertanggung jawab mutlak membiayai anak-anak usia sekolah untuk menempuh jenjang pendidikan dasar. Dalam UUD 1945 Pasal 31 (2) ditegaskan mengenai kewajiban pemerintah membiayai pendidikan dasar setiap warga negara. Nah, kita tentu melihat ketidaktaatan Pemerintah terhadap konstitusi. Jika mengacu pada UUD 1945 Pasal 31 (2), anak usia sekolah berhak mendapatkan pendidikan dasar tanpa biaya. Lalu muncul pertanyaan, atas dasar apa pula pihak sekolah sering kali menarik pungutan-pungutan kepada siswa dan orang tua siswa? UU No 20/2003 Pasal 34 (2) tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pun menggariskan agar Pemerintah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa pemungutan biaya.

Ditinjau lebih jauh, Pemerintah tampak tak memiliki komitmen politik terhadap pendidikan. Sebut saja misalnya ketentuan anggaran pendidikan sebesar 20 % dalam APBN. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi UU No 18/2006 tentang APBN 2007 yang mengalokasikan anggaran pendidikan 11,8 % bertentangan dengan UUD 1945 malah ditanggapi dingin Pemerintah. Tidak jauh berbeda pada 2006 lalu, dimana Pemerintah tidak merespon positif putusan MK yang memutuskan UU No 13/2005 tentang APBN 2006 dengan alokasi anggaran pendidikan 9,1 % bertentangan dengan UUD 1945.

Bagaimana pun, kita tidak bisa menutup mata terhadap mahalnya biaya menempuh jenjang pendidikan di negeri ini. Ketika disinggung tentang anggaran pendidikan sebesar 20 % dari APBN/APBD sebagaimana amanat UUD 1945 dan UU No. 20/2003 Tentang Sisdiknas, Pemerintah selalu mengatakan tidak memiliki anggaran yang cukup. Ada sektor kebutuhan non-pendidikan yang semestinya juga harus diperhatikan disamping terus mengupayakan secara bertahap anggaran pendidikan menuju 20 %. Pertanyaannya, apakah negara ini benar-benar kekurangan anggaran sehingga sangat minim dialokasikan untuk sektor pendidikan?

Melihat kenyataan pengelolaan anggaran negara di republik ini, tampaknya terjadi ketidakefektifan di samping mentalitas korupsi yang masih akut. Pemerintah tidak bisa tidak memang perlu memikirkan lebih serius lagi pembiayaan pendidikan di Indonesia. Anggaran negara seyogianya dikelola lebih hemat dan efektif agar benar-benar memberikan kontribusi signifikan terhadap penyelenggaraan pendidikan.

Disadari atau tidak, apa yang tertera dalam UUD 1945 tentu menyimpan harapan besar terhadap kemajuan pendidikan nasional. Sebagaimana diketahui, Pasal 31 (2) merupakan perubahan ketiga UUD 1945 yang disahkan 10 November 2001 dan Pasal 31 (4) merupakan perubahan keempat UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Rumusan UUD 1945 hasil amandemen itu secara implisit mengajak Pemerintah untuk memperhatikan pembangunan sektor pendidikan. Siapa pun tentu sepakat bahwa pembangunan sektor pendidikan tidak bisa diabaikan mengingat salah satu fungsi negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.

Terkait dengan pembiayaan pendidikan, kita selalu mengharapkan komitmen Pemerintah agar tidak berlepas tangan. Kesadaran terhadap pentingnya pendidikan harus dimiliki para penyelenggara negara untuk lebih memprioritaskan pembangunan manusia melalui usaha pendidikan. Hasil pendidikan yang tidak bisa dinikmati seketika mungkin memberatkan para penyelenggara negara yang bermental pragmatis alias ingin menikmati hasil dengan segera. Yang perlu diingat, pendidikan merupakan aspek fundamental meningkatkan kualitas individu-individu manusia. Melalui pendidikan, individu-individu manusia diupayakan memiliki kemampuan dan daya adaptabilitas terhadap perkembangan zaman. Bangsa yang ingin maju tentu saja tidak bisa mengabaikan pendidikan anak bangsanya.

Pendidikan perlu dipikirkan sebagaimana juga pentingnya memikirkan eksistensi republik ini. Keberadaan sebuah bangsa bukan sekadar dilihat dari iklim demokratisasi yang kondusif, tetapi juga dilihat dari tingkat kualitas individu-individu manusia di dalamnya. Pendidikan merupakan proses membangun manusia untuk berpuluh-puluh tahun mendatang. Wajah Indonesia masa depan ditentukan oleh kondisi pendidikan manusia Indonesia saat ini. Wallahu a’lam bish-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar