Selasa, 19 Mei 2009

Menyoal Pra Ujian Nasional : Tinjauan Dari Sudut Pandang Pedagogi, Politik dan Ekonomi

Nama & E-mail (Penulis): Syamsul Aematis Zarnuji
Saya Kepala Sekolah di Balikpapan
Topik: Ujian Nasional
Tanggal: 25 Juni 2007
Sumber : http://re-searchengines.com/kgunawan.html (pendidikan network)

Di sela-sela hiruk pikuk pelaksanaan pilkada secara langsung di berbagai daerah di Kalimantan Timur, beberapa hari terakhir ini publik disuguhkan dengan berbagai pemberiataan tentang pelaksanaan Pra Ujian Nasional (Pra-UN) di daerah tersebut. Dari informasi yang dilansir Harian Kaltim Post dan beberapa media lokal lainnya, penyelenggaraan tes tersebut berjalan dengan lancar. Namun demikian, hasil tes yang baru saja dilaksanakan beberapa waktu yang lalu tersebut sungguh sangat menyedihkan. Dari 79.224 peserta yang mengikuti tes pada 13 kabupaten/kota, rata-rata jumlah siswa yang mampu mencapai nilai standar kelulusan secara nasional (nilai minimal pada masing-masing mata ujian adalah 4,26 dengan nilai rata-rata minimal 4,51) hanya kurang dari 50 %. Bahkan di salah satu kabupaten, khusus pada jenjang pendidikan SLTA, tak satupun dari peserta tes tersebut yang mampu meraih standar nilai kelulusan dimaksud (Kaltim Post, 12 April 2006). Pertanyaannya kemudian, apakah yang harus dilakukan untuk menyikapi hasil tes tersebut dalam rangka menghadapi ujian akhir nasional yang akan datang ?
Dalam tulisan ini saya akan menguraikan berbagai fenomena penyelelenggaraan tes dimaksud dari sudut pandang pedagogi, politik dan ekonomi serta langkah-langkah strategis yang harus diambil baik oleh pemerintah maupun penyelenggara pendidikan di Propinsi Kalimantan Timur dalam menyikapi pelaksanaanya dan hasil yang telah dicapai.

A. SUBSTANSI DAN MEKANISME PELAKSANAAN PRA – UN
Seperti diketahui bahwa tujuan dari penyelenggaraan Pra-UN tersebut adalah untuk melihat sampai sejauh mana kesiapan siswa - siswi kelas 3 SLTP dan SLTA di Propinsi Kalimantan Timur dalam rangka mengikuti Ujian Nasional tahun ajaran 2005/2006. Dari hasil pelaksanaan Pra-UN tersebut diharapkan agar sekolah dapat melaksanakan langakah-langkah strategis guna mengantisipasi ketidaktercapaian standar nilai kelulusan yang telah ditetapkan secara nasional untuk tahun ajaran 2005/2006 ini. Berangkat dari tujuan tersebut maka diputuskanlah untuk dilaksanakan uji coba tes mata pelajaran/diklat yang diujikan secara nasional yang kemudian disebut dengan Pra Ujian Nasional.
Substansi dan mekanisme pelaksanaan Pra-UN tersebut dibuat sama persis seperti Ujian Nasional. Perbedaannya hanya terletak pada wilayah dimana ujian dimaksud di laksanakan. Jika Ujian Akhir Nasional mencakup seluruh wilayah Republik Indonesia maka Pra-UN dilaksanakan hanya dilingkup wilayah propinsi Kalimantan Timur. Namun demikian, semua sub kegiatan dari program tersebut dilakukan secara sentralistik kecuali pelaksanaan/pengawasan dan pengiriman kembali lembar jawaban tes tersebut yang menjadi tugas dari masing-masing sekolah penyelenggara.
Pelaksanaan tes tersebut dilakukan kurang lebih satu bulan stengah menjelang Ujian Nasional dilaksanakan. Sedangkan hasil dari tes tersebut disampaikan/tiba di masing-masing sekolah kurang dari satu bulan menjelang pelaksanaan Ujian Nasional - UN (Pelaksanaan UN sesuai dengan jadwal yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional akan dilakukan pada minggu pertama bulan Mei yang akan datang). Hasil dari pelaksanaan Pra-UN tersebut berupa daftar nilai yang telah dicapai oleh masing-masing peserta tes pada sekolah bersangkutan yang hanya dilengkapi dengan keterangan apakah yang bersangkutan telah mencapai standar kelulusan atau tidak. Inilah penjelasan secara garis besar tentang substansi dan mekanisme pelaksanaan Pra-UN tersebut di Propinsi Kalimantan Timur.

B. TINJAUAN DARI SUDUT PANDANG PEDAGOGI, POLITIK DAN EKONOMI
Secara pedagogis, substansi dan mekanisme pelaksanaan Pra-UN seperti yang saya uraikan tersebut di atas masih memunculkan berbagai pertanyaan berkaitan dengan keefektifitasannya. Dilihat dari tujuan yang ingin dicapai maka substansi dan mekanisme seperti yang telah dijalankan tersebut memiliki beberapa kelemahan jika dikaitkan dengan fungsi tes tersebut yakni sebagai alat diagnosa (diagnostic test) untuk mengetahui kesiapan (kelemahan dan kekuatan) kita dalam mengikuti UN yang akan datang. Kelemahan-kelemahan tersebut anatara lain;
Pertama adalah berkaitan dengan substansi test (test contents). Jika diamati salah satu tes yang digunakan dalam Pra-UN tersebut, sebut saja misalnya mata pelajaran/diklat bahasa Inggris untuk kelompok SMK, ditemukan bahwa aspek pengetahuan dan keterampilan bahasa yang diujikan pada tes tersebut baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya tidak sama dengan apa yang tertera pada panduan pelaksanaan Ujian Nasional tahun pelajaran 2005/2006 yang diterbitkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Penilaian Pendidikan, Departemen Pendidikan Nasional (Lihat Panduan Materi Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2005/2006 SMK Kurukulum 1994). Dalam Panduan tersebut pada Gambaran Umum disebutkan bahwa jumlah soal untuk masing-masing bagian tes; listening dan reading adalah 30 butir. Dengan demikian jumlah soal seluruhnya adalah 60 butir. Walaupun dalam Prosedur Operasi Standar - POS Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2005/2006 disebutkan bahwa jumlah soal seluruhnya adalah 50 butir yang terdiri dari 15 untuk tes listening dan 35 untuk test reading, informasi ini menurut saya memiliki tingkat kebenaran yang lebi rendah bila dibandingkan dengan informasi yang tertera pada Panduan Materi Ujian Nasional. Kenapa ? Karena POS tersebut hanyalah dokumen yang fungsi urtamanya mengatur prosedur atau teknis pelaksanaan ujian tersebut sedangkan Panduan Materi Ujian Nasional lebih mengarah ke substansi atau isi soal. Dengan demikian, pedoman utama yang seharusnya digunakan untuk menyusun soal Pra-UN tersebut tentu buku Panduan Materi Ujian Nasional, bukan POS Ujian Nasional. Kalau dokumen tersebut yang digunakan sebagai referensi, kenapa jumlah soal Pra-UN hanya 15 butir pada bagian listening dan 35 pada bagian reading ? Inilah perbedaan yang paling mendasar dalam hal kuantitas isi soal. Disamping itu, apabila dibandingkan dengan bentuk dan jumlah soal UN tahun lalu, soal-soal Pra-UN yang diujikan beberapa waktu yang lau pun sangat kelihatan perbedaannya.
Selain pada aspek kuantitas, ketidakkonsistensian juga bisa ditemukan pada tataran kualitas isi tes. Dalam buku Panduan Materi Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2005/2006 disebutkan bahwa ada 2 (dua) Standar Kompetensi Lulusan-SKL yang diujikan secara nasional yakni; kemampuan mendengarkan (listening) dan kemampuan membaca (reading). Khusus pada kemampuan membaca disebutkan bahwa ruang lingkup materi yang diujikan meliputi 4 (empat) hal ; menemukan pesan utama dalam teks tulis (1), menemukan informasi rinci tertentu (2), menemukan makna tersurat dan tersirat (3) dan menafsirkan makna kata sesuai konteks (4). Jika diperhatikan keempat hal tersebut tampak dengan jelas bahwa ranah bahasa yang diujikan adalah keterampilan memahami bacaan, bukan pengetahuan terhadap struktur kalimat-kalimat yang biasa dijumpai dalam bahasa tertulis. Kalau mengacu kepada panduan baku yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional tersebut sungguh tidak bisa dimengerti kenapa pada tes bahas Inggris SMK Pra-UN tersebut yang katanya dibuat semirip mungkin dengan tes UN masih muncul soal-soal yang substansinya menguji kemampuan seseorang terhadap pengetahuan struktur (structure) kalimat dan tata bahasa (grammar). Dari 35 soal yang diujikan pada bagian kemampuan membaca terdapat lebih dari 50 % atau 20 butir soal mengarah kepada hal tersebut.
Disamping ketidakkonsistensian penyebaran keterampilan dan pengetahuan bahasa yang diujikan pada tes Pra-UN tersebut, ketidakjelasan dan/atau kesalahan pencetakan pun bisa ditemukan pada beberapa soal. Sebut saja misalnya pada bagian kemampuan mendengarkan. Gambar-gambar yang disuguhkan pada bagian 'interpreting pictures' tidak begitu jelas. Bahkan gambar nomor 1 (satu) samasekali tidak bisa diidentifikasi.
Kedua adalah berhubungan dengan prosedur atau mekanisme pelaksanaan tes (testing mechanism). Seperti diketahui bahwa Pra-UN tersebut dilaksanakan kurang lebih satu bulan setengah mejelang waktu pelaksanaan UN. Sementara dilain pihak mekanisme pelaksanaannya dilakukan secara sentralistik yang tentu membutuhkan waktu relatif cukup lama terutama untuk memperoses hasil yang telah dicapai oleh peserta tes. Karena birokrasinya yang cukup panjang disamping terlalu dekatnya waktu pelaksanaan tes tersebut dengan jadwal pelaksanaan UN maka waktu yang tersisa untuk melakukan persiapan UN setelah menerima hasil Pra-UN tersebut sangatlah sempit. Bayangkan apa yang bisa kita lakukan dalam 3 (tiga) minggu ini ? Tentu melakukan pengayaan terhadap materi-materi yang di-UN-kan. Dengan waktu yang 3 (tiga) minggu pasti kita tidak bisa berharap banyak jika melihat jumlah materi yang harus disampaikan. Konsekwensinya adalah kita tentu tidak akan bisa memperoleh hasil yang optimal.
Selain kedua aspek yang telah saya uraikan di atas, isi laporan hasil tes (contents of test report) juga menjadi salah satu penyebab ketidakefektifitasan penyelenggaraan Pra-UN tersebut dalam sudut pandang pedagogis. Sebagai sebuah 'diagnostic test', laporan hasil tes dimaksud seyogyanya tidak hanya berisi daftar pencapaian nilai peserta test tetapi juga, dan ini yang amat penting, harus dilengkapi dengan analisis hasil tes (Analysis of Test Result-ATR). ATR adalah penjelasan tentang kelemahan dan kekuatan yang dimiliki oleh para peserta tes berkaitan dengan isi tes (test contents) yang diujikan. Bila memungkinkan, penjelasan ini dibuat secara individual. Jika tidak karena pertimbangan waktu dan biaya misalanya, maka analisa tersebut bisa juga dibuat per kelas/jurusan atau minimal per sekolah peserta tes. Hal ini dimaksudkan untuk membantu guru mata pelajaran/diklat bersangkutan dalam menentukan fokus bimbingan persiapan UN di masing-masing sekolah mereka. Karena tidak dilengkapinya laporan hasil Pra-UN tersebut dengan ATR maka para guru merasa kebingungan sehingga tidak fokus pada kelemahan siswa-siswinya.
Dalam tataran politik, kebijakan penyelenggaraan Pra-UN secara sentralistik birokratis sesungguhnya adalah bentuk ketidakkonsistensian pemerintah dalam menjalankan amanat Undang Undang (UU) Otonomi Daerah dan UU Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003. Kedua produk hukum tersebut dengan jelas mengamanatkan kepada negara agar pola pengelolaan pendidikan dasar dan menengah diubah dari sentralistik (terpusat) menjadi desentralistik (tidak terpusat). Makna kata 'desentralistik' ini tidak hanya ditujukan pada pengalihan kewenangan dari pemerintah pusat ke daerah, tetapi juga dari daerah ke lembaga penyelenggara pendidikan (sekolah/madrasah). Atas dasar pemahaman ini kemudian lahirlah apa yang disebut dengan Manajemen Berbasis Sekolah-MBS (School-Based Management). Inti dari penerapan MBS ini adalah adanya pembagian kewenangan (sharing of power) antara pemerintah pusat, pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten/kota dengan lembaga penyelenggara pendidikan. Dalam hal ini kewenangan yang bersifat kebijakan dan regulasi tentu menjadi bagian dari pemerintah baik pusat maupun daerah sedangkan hal-hal yang berhubungan dengan teknis penyelenggaraan pendidikan tentu menjadi kewenangan masing-masing sekolah. Harapannya adalah terwujudnya apa yang disebut dengan 'kemandirian sekolah' (autonomous schooling).
Lalu bagaimana dengan penyelenggaraan Pra-UN ? Dalam hal memutuskan dan membuat regulasi penyelenggaraan kegiatan tersebut tentu menjadi kewenangan pemerintah propinsi yang bisa saja dialihkan ke masing-masing kabupaten/kota sedangkan teknis pelaksanaannya mulai dari pembentukan tim pelaksana, penyusunan soal, pelaksanaan tes, pengoreksian, pembuatan daftar nilai serta ATR dan lain sebagainya semestinya menjadi kewenangan sekolah. Model seperti ini tentu bisa dilaksanakan apabila ada rasa saling percaya antara subsitem yang terkait dalam penyelenggaraan pendidkan tersebut dan melaui persiapan yang matang. Terlepas dari itu semua, tentu 'good will' dari penyelenggara pemerintah untuk mentaati peraturan yang telah dibuatnyalah yang menjadi gerbong utama penggerak perubahan tersebut.
Selain dalam tataran pedagogis dan politis, tanpa mengurangi kelebihan yang dimilikinya, penyelenggaraan Pra-UN tersebut juga memiliki kelemahan bila dilihat dari sudut pandang ekonomi.
Seperti kita ketahui bahwa pelaksanaan Pra-UN di propinsi Kalimantan Timur yang dilaksanakan beberapa waktu yang lalu tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Biaya-biaya tersebut bisa saja meliputi kegiatan pra, sedang dan pasca pelaksanaan program. Kegiatan pra pelaksanaan program dapat berupa penyiapan/pembentukan panitia, rapat-rapat koordinasi, penyusunan tes, penerbitan/penggandaan tes, pengepakan serta pengiriman tes ke lokasi ujian. Sedangkan kegiatan yang perlu dilaksanakan pada saat dan pasca pelaksanaan ujian adalah berupa pelaksanaan/pengawasan tes, pengepakan lembar jawaban tes, pengiriman lembar jawaban tes ke tempat pengoreksian, pengoreksian, pengolahan nilai dan pengiriman hasil tes ke masing-masing dinas pendidikan kabupaten/kota dan sekolah-sekolah penyelenggara. Disamping biaya-biaya yang dianggarkan di tingkat provinsi, masing-masing sekolah penyelenggara ujian tersebut juga mengeluarkan dana ekstra minimal untuk panitia internal sekolah bersangkutan. Bila pembiayaan seluruh kegiatan tersebut rata-rata dianggarkan Rp. 25.000 (dua puluh lima ribu rupiah) saja per peserta tes, maka jumlah anggaran yang harus disediakan untuk penyelenggaraan tes tersebut bagi 80.000 (delapan puluh ribu) peserta adalah 2 (dua) milyar rupiah (Kaltim Post, 05 Maret 2005). Bayangkan saja, untuk mendapatkan gambaran tentang kesiapan mengikuti ujian akhir nasional saja pemerintah harus rela mengeluarkan dana yang cukup besar jumlahnya. Padahal apabila penyelenggaraan kegiatan semacam ini bisa disiasati maka jumlah anggaran yang harus disiapkan tentu bisa ditekan jumlahnya dan yang pasti dengan hasil yang maksimal.
Sebenarnya permasalahan yang paling mendasar bukan saja terletak pada seberapa besar anggaran yang digunakan untuk penyelenggaraan Pra UAN tersebut tetapi yang paling utama, dan ini yang lebih penting, adalah berkaitan dengan mekanisme pelaksanaan tes tersebut yang tampaknya cenderung kepada pemborosan.
Seperti yang telah saya uraikan bahwa mekanisme penyelenggaraan tes tersebut dilakukan dengan pola sentralistik, dimana hampir semua sub kegiatan pengujian dimaksud dipusatkan di propinsi. Konsekwensi logis dari sistem ini adalah adanya birokrasi yang cukup panjang dari pemerintah propinsi hingga ke sekolah penyelenggara. Hal ini kemudian memunculkan relatif lebih banyak sub kegiatan dan waktu yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Dengan demikian biaya yang dibutuhkan pun pasti lebih banyak dibanding dengan apabila borokrasi yang panjang tersebut bisa dipangkas. Sebut saja misalnya pendistribusian soal dari propinsi ke masing-masing sekolah penyelenggara. Jika rentang distribusi ini bisa diperpendek maka tentu biaya yang dibutuhkan untuk itupun semakin sedikit. Contoh pemborosan lain dari mekanisme seperti yang telah dilaksanakan pada Pra-UN tersebut adalah munculnya kepanitiaan ganda. Disamping panitia penyelenggara di tingkat propinsi, dimasing-masing sekolah penyelenggara pun dituntut untuk membentuk panitia internal, bahkan mungkin juga di masing-masing Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Munculnya kepanitiaan yang berlapis-lapis ini tentu membuat pembengkakan pada anggaran pembiayaan sehingga secara ekonomis, pola penyelenggaraan Pra-UN seperti ini tidak efisien.
Dari keseluruhan paparan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa bila dilihat dari tujuan dan fungsi dilaksanakannnya Pra-UN tersebut maka dapat dikatakan bahwa substansi dan mekanisme penyelenggaraan ujian dimaksud masih lemah baik ditinjau dari sudut pandang pedagogi, politik maupun ekonomi. Dengan demikian, pola yang telah dilaksanakan tersebut harus dibenahi. Pertanyaannya kemudian, seperti apakah model penyelenggaraan kegiatan tersebut sehingga bisa dijamin kualitas dan akuntabilitasnya ? Dan langkah-langkah apakah yang harus dilakukan penyelenggara pendidikan dalam menyikapi hasil Pra-UN yang tidak memuaskan tersebut ?

C. ALTERNATIF PEMBENAHAN MODEL PENYELENGGARAAN PRA-UN
Perlu diketahui bahwa elaborasi model penyelenggaraan Pra-UN yang saya tawarkan berikut ini tidak bisa dimaknai sebagai penjustifikasian kebenaran terhadap urgensitas penyelenggaraan Ujian Nasional di Indonesia. Walaupun isu ini masih kontroversial, dari beberapa referensi dan kajian terhadap perlu tidaknya penyelenggaraan UN dengan subsatansi dan mekanisme seperti yang telah diterapka selama ini, saya memandang pelaksanaan UN dengan model tersebut sebaiknya dihentikan dan diganti dengan nama, subsntansi, sistem dan mekanisme yang baru. Alasannya adalah karena nilai tambah (added value) yang diperoleh dari kegiatan tersebut tidak sebanding dengan 'ongkos' pedagogis, politis, ekonomis dan sosial yang telah dikorbankannya (Kompas , 26 Mei 2003 dan Pikiran Rakyat, 04 Februari 2005). Namun demikian, jika pilihannya hanya satu yaitu kebijakan pemerintah pusat tentang pelaksanaan UN tersebut sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi sehingga setiap siswa kita tanpa kecuali diharuskan mengikuti ujian tersebut maka minimal pada tingkat pemerintah propinsi perlu kiranya diselenggarakan Pra-UN dengan substansi dan mekanisme yang memiliki tingkat efektifitas dan akuntabilitas yang tinggi dengan harapan agar hasil yang diperoleh dapat dicapai secara optimal. Agar pelaksanaan kebijakan tersebut memiliki tingkat efektifitas dan akuntabilitas yang tinggi, faktor-faktor pedagogis, politis dan ekonomis dalam substansi dan mekanisme penyelenggaraan Pra-UN tersebut menjadi sesuatu yang harus dipertimbangkan.

C.1. SUBSTANSI
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa tujuan dari penyelenggaraan Pra-UN adalah untuk mengetahui kekuatan dan/atau kelemahan yang dimiliki oleh siswa-siswi kita dalam rangka mengikuti ujian nasional. Dengan demikian, tes yang digunakan dalam Pra-Un tersebut hendaknya berfungsi sebagai alat diagnosa (diagnostic test) atas kemampuan siswa-siswi kita dalam mengerjakan soal-soal yang mungkin diujikan pada ujian nasional. Konsekwensi logis dari hal tersebut adalah bahwa substansi dari pengujian tersebut harus meliputi minimal dua hal pokok yakni; isi tes (Test Contents -TC) dan laporan hasil tes (Report of Test Result-RTR).
Isi tes (TC) adalah cakupan ranah pengetahuan dan keterampilan yang diujikan dalam soal-soal Pra-UN yang disusun berdasarkan Standar Kompetensi Lulusan -SKL yang telah ditetapkan. Mengingat pengerjaan soal-soal Pra-UN tersebut dimaksudkan untuk mendeteksi/mendiagnosa kelemahan/kelebihan siswa kita dalam mengerjakan soal-soal yang mungkin diujikan pada UN maka isi tes Pra-UN hendaknya dibuat sama dengan atau paling tidak mirip dengan isi soal-soal yang mungkin diujikan pada UN. Untuk merealisasikan hal tersebut maka penyusunan soal-soal Pra-UN harus mengacu kepada Buku Panduan Pelaksanaan Ujian Nasional yang diterbitkan secara resmi oleh Departemen Pendidikan Nasional. Konsistensi kesamaan/kemiripan bentuk, jumlah, tingkat kesulitan dan ranah pengetahuan dan keterampilan antara kisi-kisi soal yang terdapat dalam buku Panduan Pelaksanaan Ujian Nasional dengan isi tes Pra-UN tersebut menjadi sangat penting karena hal itu merupakan salah satu karakteristik yang harus dimiliki oleh sebuah tes yang digunakan sebagai alat diagnosa (diagnostic test). Bila tidak maka fungsi tersebut dengan sendirinya terabaikan.
Disamping isi tes sebagaimana diuraikan di atas, laporan hasil tes (RTR) juga memiliki peran yang sangat signifikan dalam rangka memfungsikan Pra-UN tersebut sebagai alat diagnosa. Dengan demikian RTR harus dilengkapi dengan perangkat yang bisa digunakan sebagai pemberi informasi terhadap ketercapaian nilai Pra-UN masing-masing peserta tes dan ranah pengetahuan/keterampilan mana saja dari isi tes tersebut yang menjadi kelemahan atau kelebihan masing-masing individu yang mengikuti tes tersebut. Perangkat yang paling tepat untuk itu adalah apa yang saya sebut dengan Deskripsi Nilai (Score Description -SD) dan Analisa Hasil Tes (Analysis of Test Result-ATR). SD berisi daftar nama-nama peserta tes, nilai yang dicapai dan tingkat ketercapaiannya bila mengacu kepada standar nilai kelulusan UN. Sedangkan ATR berisi daftar nama-nama peserta tes yang dilengkapi dengan penjelasan pada ranah pengetahuan/keterampilan mana saja dari isi tes tersebut yang menjadi kelemahannya. Jika ini tidak bisa dilakukan karena terlalu banyaknya peserta tes maka ruang linkupnya bisa diperluas menjadi per kelas/jurusan atau maksimal per sekolah penyelenggara tes Pra-UN. Dokumen-dokumen ini amat sangat penting karena inilah 'senjata' yang bisa digunakan oleh para guru mata pelajaran/diklat yang di-UN-kan untuk melakukan dan memfokuskan materi pengayaan dalam kegiatan persiapan menghadapi UN. Tanpa ini maka mereka tentu tidak akan terfokus pada masalah yang dihadapi masing-masin siswa dan pada kahirnya tentu hasil yang dicapai dalam pelaksanaan UN tidak akan optimal.

C.2. MEKANISME
Ada dua hal yang harus diperhatikan berkaitan dengan mekanisme pelaksanaan Pra-UN tersebut. Pertama adalah masalah prosedur pelaksanaan. Agar memiliki nilai efektifitas dan akuntabilitas yang tinggi maka prosedur pelaksanaanya harus diubah dari pola terpusat (sentralistik) menjadi tidak terpusat (desentralistik). Konsekwensinya adalah pemerintah propinsi hendaknya dengan penuh keberanian dan elegan menyerahkan urusan ini minimal kepada masing-masing pemerintah kabupaten/kota. Untuk hal-hal yang bersifat teknis sebaiknya langsung diserahkan kepada masing-masing sekolah penyelenggara sedangkan hal-hal yang bersifat kebijakan, regulasi dan pengawasan bisa ditangani langsung oleh pemerintah kabupaten/kota atau bisa juga propinsi apabila pemerintah kabupaten/kota bersangkutan tidak siap menyelenggarakannya. Kenapa demikian ? Karena, seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya, prosedur seperti ini mampu memberikan jaminan efektifitas dan akuntabilitas yang tinggi baik ditinjau dari perspektif politik maupun ekonomi. Dalam tataran politik, pemerintah propinsi tentu bisa menjadi contoh bagi propinsi-propinsi lainnya dalam hal pengimplementasian Undang Undang Otonomi Daerah dan Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003, dimana 'otonomous schooling' menjadi salah satu tujuan akhir dari pemberlakuan peraturan tersebut. Sementara dalam tataran ekonomi, pemangkasan birokrasi yang cukup panjang dari pemerintah propinsi hingga ke sekolah penyelenggara tentu akan memperpendek jarak dan waktu dalam pelaksanaan program tersebut. Dengan demikian biaya yang dibutuhkan pun menjadi relatif lebih sedikit.
Alasan yang sering digunakan sebagian kalangan untuk menentang wacana di atas adalah adanya kekhawatiran dari pemerintah propinsi tentang kesiapan pemerintah kabupaten/kota atau sekolah penyelenggara untuk melaksanakan kegiatan tersebut agar mampu memberikan hasil yang optimal. Argumentasi semacam ini tentu tidak bisa dibenarkan karena semestinya pemerintah propinsi selaku daerah otonom memiliki tugas dan tanggung jawab untuk membina 'subordinate' nya baik pemerintah kabupaten/kota secara kelembagaan maupun personil yang ditugaskan di lingkup pemerintahan tersebut, termasuk di dalamnya guru mata pelajaran/diklat yang di-UN-kan. Sehingga kata kuncinya adalah apakah pemerintah propinsi memiliki 'good will' untuk memberdayakan mereka dalam melaksanakan Pra-UN tersebut. Caranya bagaimana ? Salah satu alternatif yang bisa ditempuh adalah dengan menggunakan MGMP/D (Musyawarah Guru Mata Pelajaran/Diklat) yang di-UN-kan di masing-masing kabupaten/kota sebagai perpanjangan tangan pemerintah propinsi/kabupaten/kota. Dengan sebuah sistem dan persiapan yang terencana, yang kalau saya uraikan pada kesempatan ini tentu terlalu teknis dan memakan tempat dan waktu yang cukup lama, para guru tersebut bisa menjadi bagian integral dari penyelenggaraan program dimaksud.
Ada paling tidak dua keuntungan yang bisa diperoleh dari pola seperti ini. Pertama adalah bagi pemerintah propinsi itu sendiri, dalam hal ini direpresentasikan oleh Dinas Pendidikan Propinsi. Karena Dinas Pendidikan tersebut bukanlah lembaga pelaksana teknis penyelenggaraan kependidikan maka dengan sendirinya yang bersangkutan tidak perlu lagi merepotkan diri untuk mencari tenaga-tenaga profesional yang bisa ditugaskan untuk mengerjakan hal-hal teknis penyelenggaraan Pra-UN tersebut, misalnya menyusun soal, menganalisa hasil, mengoreksi dan lain-lain. Yang kedua adalah bagi para guru mata pelajaran/diklat yang di-UN-kan. Karena yang bersangkutan terlibat aktif dalam pelaksanaa kegiatan teknis penyelenggaraan program tersebut maka mau tidak mau, suka atau tidak mereka dengan sendirinya akan berusaha untuk meningkatkan kompetensi dan profisiensi mereka agar mereka mampu mengerjakan tugas-tugas tersebut. Dengan demikian secara tidak langsung sebenarnya Dinas Pendidikan telah mendapatkan keutungan ganda yaitu meringankan tugas-tugas mereka baik dalam hal penyelenggaraan Pra-UN dimaksud maupun tugas dan tanggung jawab dia sebagai pembina personil tenaga kependidikan.
Selain prosedur pelaksanaan, ketepatan waktu penyelenggaraan juga menjadi bagian yang tak kalah penting yang harus diperhatikan. Hal ini disebabkan karena hasil dari pelaksanaan tes pada Pra-UN tersebut akan sangat berguna bagi masing-masing sekolah untuk memfokuskan penekanan materi pengayaan sesuai dengan kelemahan yang dimiliki oleh siswa-siswinya dalam menghadapi UN. Dengan demikian pelaksanaan Pra-UN tersebut hendaknya dilakukan jauh hari sebelum mereka mengikuti UN. Makanya ibarat setali dua uang. Disamping pelaksanaan tes tersebut telah dilakukan jauh hari sebelum UN, penerapan pola desentralistik dengan waktu yang dibutuhkan relatif lebih pendek pada pelaksanaan kegiatan tersebut tentu akan mampu memberi sisa waktu yang cukup lama bagi masing-masing sekolah penyelenggara Pra-UN dalam melakukan persiapan/pengayaan bagi siswa-siswinya sebelum mengikuti UN. Dengan pola ini tentu diharapkan hasil yang akan dicapai akan optimal atau paling tidak lebih baik daripada cara 'konvensional' yang telah dilakukan beberapa waktu yang lalu.

D. TINDAK LANJUT
Model yang saya tawarkan di atas tentu tidak akan pernah mampu mengubah hasil yang telah dicapai pada penyelenggaaraan Pra-UN yang lalu. Yang diperlukan adalah adanya keinginan (good will) dan kemauan politik (political will) dari pemerintah dalam hal ini Dinas Pendidikan Propinsi Kalimantan Timur untuk mengimplementasikannya atau mengubah kebijaksanaann pelaksanaan Pra-UN tersebut pada waktu-waktu yang akan datang. Terhadap rendahnya pencapian standar nilai kelulusan yang diperoleh oleh siswa-siswi kita pada Pra-UN yang lalu dengan waktu yang begitu sedikit tersisa, rasanya amat sangat sulit untuk menentukan langkah-langkah apa yang patut kiranya dilakukan oleh pemerintah dan penyelenggara pendidikan baik sekolah penyelenggara maupun masyarakat pada umumnya di Kalimnatan Timur guna menyikapi hasil tersebut. Namun demikian, berikut ini beberapa alternatif kegiatan atau hala-hal yang patut dipertimbangkan untuk dilaksanakan baik oleh pemerintah, sekolah, orang tua siswa maupun siswa-siswi yang akan menghadapi UN yang akan datang;

D.1. PEMERINTAH DAN SEKOLAH SEBAGAI PENYELENGGARA PENDIDIKAN
Jika memperhatikan hasil pencapaian nilai standar kelulusan pada pelaksanaan Pra-UN tersebut, patut dimaklumi kalau sebagian kalangan baik pendidik, pemerintah dan masayarakat pada umumnya merasa sangat khawatir atas keberhasilan anak-anak didik kita dalam mengikuti UN yang akan datang. Untuk menyikapi hal ini hendaknya kita tidak merasa gamang dan kehilangan arah. Apa yang tersurat pada laporan nilai Pra-UN anak-anak kita tersebut, tanpa mengurangi keberadaannya, tentu tidak bisa dijadikan satu-satunya alat untuk memponis bahwa kegagalan akan dialami oleh sebagian besar dari mereka dalam mengikuti UN yang akan datang. Nilai Pra-UN tersebut hanyalah sebatas prediksi. Namun demikian, tetap juga bisa dijadikan pedoman paling tidak untuk membuat langkah-langkah antisipatif untuk meningkatkan ketercapaian nilai pada UN dimaksud. Untuk itu, pemerintah sebagai pemegang kendali dan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam mengantar mereka meraih kesuksesan dalam mengikuti UN tersebut. Dalam waktu yang tersisa cukup singkat ini sesungguhnya tidak banyak yang bisa kita lakukan. Namun demikian, ada beberapa alternatif kegiatan atau hal-hal yang patut kiranya dipertimbangkan untuk dilaksanakan, antara lain;

1. Memberikan Reward Bagi Siswa dan Guru Mata Pelajaran Yang di-UN-kan
Pola yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan Kota Balikpapan dengan memberikan reward berupa keringanan biaya studi ke jeniang yang lebih tinggi/beasiswa/dana pembinaan prestasi bagi siswa dan guru yang mampu mewujudkan pencapaian nilai 10 terbaik untuk masing-masing mata pelajaran/diklat yang di-UN-kan di masing-masing jenjang pendidikan (Smart Morning News & Radio Talks, SMART FM, 22 April 2006) mestinya bisa menjadi contoh bagi pemerintah propinsi, kabupaten/kota lainnya serta sekolah sebagai penyelenggara pendidikan. Dengan pemberian reward semacam ini sedikit banyak akan memberikan motivasi yang tinggi minimal bagi siswa dan guru bersangkutan untuk berusaha meraih nilai yang setinggi-tingginya. Bukankah dari beberapa kajian dan pengalaman empirik menunjukkan bahwa motivasi kadangkala bisa mengubah dari sesuatu yang dirasa tidak mungkin dilaksanakan menjadi bisa direalisasikan ? Semangat ini hendaknya bisa diberdayakan secara optimal dalam waktu yang cukup singkat ini.

2. Lakukan Persiapan Intensif (Intensive Test Preparatory)
Sekolah-sekolah penyelenggara UN hendaknya dapat melakukan persiapan secara intensif (intensive test preparatory) dengan materi pengayaan mengacu keapada kisi-kisi soal pada buku Panduan Pelaksanaan Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2005/2006 yang diterbitkan secara resmi oleh Puspendik Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia 2005 atau soal-soal Pra-UN. Intensif artinya adalah adanya alokasi waktu yang lebih banyak dan kelompok peserta persiapan yang dibagi bukan berdasarkan kelas/jurusannya, tetapi berdasarkan pencapaian nilai Pra-UN yang dikeluarkan oleh Depdiknas Propinsi Kalimantan Timur beberapa waktu yang lalu. Jika waktu yang tersedia/tersisa dirasa masih cukup, soal-soal Pra-UN tersebut hendaknya dikembangkan dalam berbagai bentuk namun tidak keluar dari ranah pengetahuan dan keterampilan yang telah ditetapkan dalam Standar Kompetensi Lulusan-SKL yang diujikan secara nasional seperti yang tertera pada buku Panduan Pelaksanaan Ujian Nasional tersebut. Ini penting karena dengan cara ini kemungkinan memiliki soal-soal yang sama atau minimal mirip dengan yang diujikan pada UN menjadi sangat tinggi. Dengan demikian, para siswa yang akan mengikuti UN yang akan datang akan terbiasa mengerjakan soal-soal seperti itu yang pada akhirnya tentu akan membuka peluang bagi mereka untuk memperoleh nilai yang setinggi-tingginya pada tes tersebut.
Disamping aspek-aspek tersebut di atas, khusus untuk mata pelajaran/diklat bahasa Inggris, fokus pembahasan materi/soal-soal hendaknya dilakukan pada bagian 'Reading Section' karena dari hasil survey menunjukkan bahwa bagian tes tersebut bisa memberikan kontribusi perubahan nilai yang cukup signifikan bila dibandingkan dengan 'Listening Section' apabila persiapan dilakukan dalam waktu yang relatif singkat.
Secara teknis, gunakan 'TIP dan TRIK' dalam menjawab soal-soal tertentu. Dengan cara ini, siswa tidak hanya bisa menjawab dengan tepat tetapi juga cepat. Khusus untuk mata pelajaran/diklat bahasa Inggris, 'TIP dan TRIK' dapat diperoleh secara cuma-cuma di ETTC Kota Balikpapan (SMKN 1 Balikpapan) dengan terlebih dahulu mengirim e-mail permintaan kepada :
syamsul_etc@yahoo.com.

D.2.SISWA DAN ORANG TUA SISWA
Siswa sebagai obyek dari penyelenggaraan Ujian Nasional tentu memiliki peranan yang sangat signifikan dalam menentukan apakah dirinya akan mampu meraih kesuksesan dalam tes tersebut. Dialah yang paling tahu kelemahan dan kekuatan yang ia miliki dalam melaksanakan ujian dimaksud. Dengan demikian, dibawah bimbingan orang tua dan guru-gurunya, dialah pula yang semestinya harus tahu apa yang harus dilakukan untuk mengatasi kelemahannya tersebut. Walaupun demikian, beberapa hal berikut ini perlu kiranya dipertimbangkan untuk dilaksanakan sebaik mungkin.
1. Gunakan waktu sebaik mungkin baik di rumah maupun di sekolah untuk membahas/mempelajari berbagai bentuk soal yang pernah di-UN-kan minimal pada ketiga periode sebelumnya.
2. Dalam membahas/mempelajari soal-soal tersebut, fokuskan pada hal-hal yang dirasa masih sulit dipahami/dijawab. Skala prioritas seperti ini sangat penting mengingat waktu yang tersisa untuk melakukan pengayaan terhadap materi-materi tersebut sangat sedikit. Jika tidak maka pemahaman terhadap materi-materi dimaksud akan terbawa kemana-mana sehingga penggunaan waktu akan menjadi tidak efisien.
3. Apabila mengalami kesulitan dalam memecahkan persoalan-persoalan tertentu pada soal-soal dimaksud, siswa hendaknya berusaha untuk menganalisa sendiri hal tersebut semaksimal mungkin. Ini dilakukan untuk membiasakan diri untuk mengoptimalkan kemampuan berfikir mereka karena dalam mengikuti tes yang sesungguhnya hal seperti ini pasti akan dilaluinya. Ingat, tak seorangpun yang bisa membantu siswa tersebut kecuali diri mereka sendiri. Namun dalam kondisi dimana solusi sama sekali tidak bisa dibuat sendiri, maka siswa bersangkutan dapat meminta penjelasan dari guru mata pelajaran terkait apabila guru tersebut berada bersama dengannya. Jika hal ini dialami dirumah, diamana tidak seorang pun yang bisa membantu maka siswa hendaknya mencatat masalah-masalah tersebut dan tanyakan hal itu segera pada saat mengikuti 'Intensive Test Preparatory'.
4. Orang tua siswa hendaknya ikut terlibat dalam memantau dan mengawasi kegiatan putra-putrinya selepas sekolah. Selalu ingatkan mereka untuk tetap fokus pada pengayaan mata pelajaran/diklat yang di-UN-kan. Berikan mereka pemahaman bahwa kegagalan dalam meraih nilai standar kelulusan pada UN yang akan datang akan membuat mereka tertinggal untuk melanjutkan studinya dan ini tentu menjadi beban ekonomi keluarganya. Lebih dari itu, rasa malu baik sesama komunitas siswa lainnya dan masayarakat sekitar tentu menjadi beban sosial yang harus ditanggungnya.

E. KESIMPULAN
Penyelenggaraan Pra-UN dengan substansi dan mekanisme seperti yang telah dilaksanakan di Propinsi Kalimantan Timur beberapa waktu yang lalu memiliki tingkat efektifitas dan akuntabilitas yang rendah baik ditinjau dari sudut pandang pedagogi, politik maupun ekonomi. Dengan demikian, substansi dan mekanismenya harus dibenahi. Pembenahan substansi pelaksanaan tes tersebut hendaknya dilakukan pada dua hal yang paling mendasar yakni; isi tes (test contents) dan laopran hasil test (report of test result). Sedangkan pembenahan dalam tataran mekanisme dapat dilakukan pada hal-hal yang berhubungan dengan prosedur dan waktu pelaksanaan tes. Dengan pembenahan ini, diharapkan test tersebut pada akhirnya benar-benar akan mampu menjalankan fungsinya sebagai alat diagnosa (diagnostic test) atas kekurangan dan kelebihan siswa-siswi kita dalam mengikutu Ujian Nasional.
Walaupun demikian, hasil dari pelaksanaan tes tersebut tetap juga bisa digunakan paling tidak sebagai acuan umum untuk menentukan langkah-langkah antisipatif dalam menghadapi Ujian Nasional yang akan datang. Untuk melaksanakan hal ini, peran dan keterlibatan aktif semua pihak baik pemerintah, sekolah, orang tua siswa maupun siswa sebagai obyek dan/atau subyek dari penyelenggaraan ujian tersebut sangat diharapkan. Dengan partisipasi dan keterlibatan pihak-pihak dimaksud secara optimal, hasil yang akan diperoleh dalam pelaksanaan UN yang akan datang tentu bisa dicapai secara maksimal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar