Selasa, 19 Mei 2009

Menakar Kejujuran Ujian Nasional Sekolah

Sumber : http://urip.wordpress.com
Oleh : Urip.WP.Com di/pada 2 Mei 2009

Beberapa hari lalu ujian nasional tingkat SMA dan SMP telah berakhir. Kini siswa, orang tua siswa, guru, kepala sekolah, kepala dinas pendidikan, para kepala daerah, mungkin mendiknas bahkan presiden (kalau tahu dan mengerti kondisi lapangan) akan berperasaan harap-harap cemas. Siswa hebat-pintar-cerdas sekalipun turut merasakan itu sebab berdasar pengalaman ada saja “kekeliruan dalam penilaian jawaban”.
Siswa Indonesia yang belum terbiasa untuk menghadapi “kegagalan pendidikan kelulusan” akibat salah satu komponen penentu kelulusan (batas minimal skor ujian nasional) tak terpenuhi, akan malu menanggung ‘aib’ itu. Untuk siswa yang terlalu cemas yg akibatnya tidak ‘pede’ akan kemampuannya berupaya “yg penting lulus”. Hal ini biasanya didukung sepenuhnya oleh orang tuanya. Celaka-nya lagi ada saja oknum yg memanfaatkan keadaan itu demi uang. Dan bagi yang mengetahui hal seperti ini kadang juga mengambil kesempatan untuk jadi pahlawan kejujuran dengan motiv yang sama buruknya.
Guru & kepala sekolah pun tidak kalah cemasnya. Dalam setiap doa-nya selalu memohon kepada Sang Penguasa untuk diberikan kelulusan siswanya, kalau bisa 100% atau sesuai yang ia targetkan. Sebab menurutnya sudah cukup usaha yang ia lakukan mulai dari men-drill siswa dengan cekok-kan soal-soal dan juga lewat tambahan pelajaran ekstra selepas pelajaran rutin. Bahkan mungkin ada yang mengikuti gaya pembelajaran di bimbingan belajar “yg tidak mendidik itu”. Ini dianggapnya cukup. Padahal mungkin dalam hatinya ini kesempatan untuk sedikit meraup untung kalau memberi les di sekolah. Inilah dampak ujian nasional yg selama ini memang tidak diniatkan dengan “lurus”. Kalau perlu memberi tahu jawaban kepada siswa dengan ber”paya-paya” mempertaruhkan nama baiknya. Kalau perlu membuat tim sukses gaya kampanye politik. Seperti itukah pendidikan yang diharapkan, penuh kepura-puraan. Proses yang dijalankan sesuai ‘tujuan luhur pendidikan’ di negasikan hanya oleh salah satu penentu kelulusan yg mematikan. Proses pembelajaran tidak dihargai, ujian nasional telah memenggal leher pendidikan di negeri ini.
Para penentu kebijakan mengharamkan ujian nasional kalau tidak diselenggarakan. Yah memang ada undang-undang yang mengharuskan ada ujian nasional. Apakah itu tidak bisa diubah? Tidak sadarkah para pakar serta para pengambil kebijakan terkait hal ini, bahwa di negeri ini tidak cocok diterapkan ujian nasional. Lihatlah mental penyelenggara pendidikan, masyarakat kita. yang “MAAF” ada saja yg gemar kebohongan.
Kepala dinas pendidikan, kepala daerah, akan gengsi bila di wilayah kekuasaan “mutu pendidikan”nya hancur. Suatu pandangan keliru jika mutu pendidikan hanya dilihat dari prosentase jumlah kelulusan. Celaka… Mungkin ada saja yang berulah untuk sengaja membocorkan soal ujian. Mungkin ada saja yang memanipulasi dan main mata pada proses scanning jawaban ujian nasional siswa di wilayahnya. Di manakah nurani dan mentalitas hebat manusiawi itu. Pendidikan diselenggarakan bukan untuk dipertaruhkan seperti judi. Jalankan saja siapa tahu beruntung. Bukan seperti itu. Jerih payah telah diupayakan oleh semua pihak demi pencapaian “manusia yang bermutu” kalau memang tulus-ikhlas.
Mendiknas-presiden… mungkin mereka sudah dengan niat tulus ingin menaikkan pamor pendidikan yang lama terpuruk. Sayang-nya mereka mempercayakan kepada orang yang mungkin tidak dapat dipercaya. Pendegelasian tugas dan kewenengan dengan modal “kepercayaan” terus berlanjut sampai di lini paling menentukan. Celakanya petaka itupun kita rasakan dampaknya. Kejadian demi kejadian yg akhirnya salah kaprah menterjemahkan niat tulus dari puncak pimpinan di negeri ini.

Bandingkan dengan sistem Ebtanas dulu
Seingat penulis, tahun 1985 adalah pertama kalinya muncul istilah EBTANAS. Saat itu terkesan lebih baik dalam hal kejujuran dalam ujian berskala nasional dibanding akhir-akhir ini. Pada sistem ebtanas kelulusan diserahkan sepenuhnya kepada sekolah. Berapapun nilai yang diperoleh. Kalau ada nilai siswa yang parah atau memang siswa bermasalah maka sekolah bisa aja tidak meluluskan. Memang masih terbuka pemanipulasian pada nilai-nilai mata pelajaran yang tidak turut di ebtanaskan, sehingga siswa lulus. Saat itu proses pembelajaran tidak terrekam dalam lembar nilai. Kalau model ujian nasional seperti sekarang mengikuti motede ebtanas dan ditambah penilaian proses pembelajaran, hal ini akan sedikit lebih bagus. Tidak perlu-lah menerapkan sistem dari negara lain kalau memang tidak bisa.
Siapakah penentu mutu dalam pendidikan kalau tidak terkontrol secara nasional? Jawabannya serahkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi yang akan menjaring calon-calon siswa yang akan diterima di jenjang pendidikan tersebut. Toh hingga detik ini pendidikan yang lebih tinggi masih menyelenggarakan ujian masuk sendiri-sendiri atau berkelompok. Seolah tidak ada kepercayaan lagi dari jenjang yang lebih tinggi dalam menjaring calon siswa/mahasiswanya. Atau serahkan pada dunia kerja, toh untuk rekrutmen pegawai mereka juga tetap melakukan penyaringin sesuai keperluan dunia usaha-nya.
Lalu untuk apa lagi ujian nasional yang menghabiskan dana besar, membuka peluang manipulasi lebih lebar, dan menggorok leher pendidikan yg diselenggarakan di negeri ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar