Selasa, 19 Mei 2009

Memaknai Perjuangan Profesi Guru

Nama & E-mail (Penulis): Trimo, S.Pd.,M.Pd.
Saya Dosen di IKIP PGRI Semarang
Topik: Guru
Tanggal: 8 Juli 2008

Sumber : http://re-searchengines.com


"Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru, namamu akan selalu hidup dalam sanubariku". Sepenggal kalimat dalam lirik lagu Himne Guru di atas seakan memaknai perjuangan guru dalam selubung "pahlawan tanpa tanda jasa". Guru ditempatkan menjadi sosok yang keberadaannya selalu dibanggakan dan dipuji oleh masyarakat. Apalagi dengan predikat "pahlawan" sepertinya mengidentikkan guru dengan pahlawan dalam arti yang sebenarnya.
Bu Guru, Pak Guru, Den Guru, Mas Guru, atau sebutan lainnya sangat kental di telinga masyarakat sebagai simbol orang yang "serba bisa". Selain tugas utamanya mengajar, guru sering ketiban sampur menjadi pengurus RT, RW, Kelurahan, organisasi pemuda, masyarakat, dan sejenisnya. Maka tidak mengherankan, apabila sosok guru merupakan pribadi-pribadi yang cepat kaki ringan tangan.
Di dunia pendidikan, guru merupakan ujung tombak dalam merealisasikan serangkaian kebijakan pemerintah. Di tangan gurulah, potret pendidikan yang idealis di negeri ini ditumpukan. Guru harus senantiasa berupaya mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang sulit diukur, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Lantaran sarat akan muatan idealis, menjadikan guru sebagai "ujung tombok" ketika ada kompleksitas permasalahan membutuhkan daya, cipta, rasa, dan karsa. Padahal sebenarnya, dunia pendidikan yang dihadapkan guru adalah hal-hal yang riil dan bersifat aktual sehingga segala fenomena yang berkembang dalam dunia pendidikan merupakan peluang dan tantangan bagi guru.

Bukan Pilihan Utama
Hari ini, seluruh guru memperingati hari Guru. Namun, berapa banyak guru yang mengetahui hal tersebut? Seandainya tahu, apa yang akan diperingati? Masihkah ada guru yang ingin memperingati harinya sebagai satu hari yang istimewa?
Pertanyaan tersebut tepatnya dijadikan sebuah ironisme eksistensi profesi guru, yang menurut kaca mata saya tak lagi diminati oleh generasi muda. Saya masih ingat ketika duduk di bangku Sekolah Dasar. Waktu itu, ibu guru saya yang selalu memakai kebaya dengan sanggul mungilnya, menanyakan tentang cita-cita. Sebagian besar dari teman-teman saya ingin sekali menjadi guru, termasuk saya.
Namun, ketika hal serupa saya tanyakan kepada murid saya, jawabannya sungguh membuat saya ngelus dada, lantaran hanya empat orang dari tiga puluh empat murid saya yang senang jadi guru. Kebanyakkan murid saya ingin jadi dokter, dengan alasan sederhana yakni bayarannya lebih besar dibanding guru.
Ilustrasi di atas merupakan wujud persepsi sederhana mengenai profesi guru, yang belum menyentuh ke hal-hal yang bersifat subtansial. Jika murid saya mengetahui bahwa untuk menjadi guru sekarang sangat sulit lantaran harus bersaing dengan ribuan lulusan sekolah guru yang sampai sekarang nasibnya masih terkatung-katung, tentu tidak akan ada yang bercita-cita menjadi guru.
Dalam konteks penglihatan masyarakat terhadap profesi guru, ada semacam sinyalemen yang mengatakan bahwa guru saat ini lebih sejahtera dibanding dengan guru tempo dulu. Bila diterjemahkan secara bebas memang demikian. Namun bila dipahami sampai pada taraf hakikat, sebenarnya ukuran "kesejahteraan" guru saat ini sama dengan dengan guru tempo dulu.
Beberapa guru yang masih bertahan dan mengalami beberapa pergantian pejabat di negeri ini merasakan hal sama. Artinya, kondisi ekonomi dan kesejahteraannya nyaris tidak ada perbedaan. Jika ditinjau dari besarnya nominal gaji, tentu berbeda. Namun, bila dilihat dari pemenuhan kebutuhan, besarnya nominal untuk ukuran zaman dulu dan sekarang relatif sama.
Barangkali satu pemikiran pentingnya peningkatan kesejahteraan, merupakan hal yang layak diagendakan oleh guru. Ironisnya, kebanyakkan guru-guru di negeri kita fanatik sekali dengan filsafat "gali lubang tutup lubang", sehingga ketika ada kabar tentang kenaikkan gaji, besarnya nominal kenaikkan sudah diantrekan ke tempat yang bisa membuat guru menjadi bergaya hidup mewah di mata masyarakat.

Konservatif
Walau bukan merupakan profesi pilihan utama, guru juga merupakan sosok yang nrima ing pandum, artinya walaupun kurang ada keselarasan dan keseimbangan antara tugas dan tanggung jawabnya mencerdaskan kehidupan bangsa dengan penghargaan yang diterima, guru tetap saja sendika dawuh melaksanakan tugas tersebut dengan penuh dedikasi. Itulah guru, yang hati sanubarinya senantiasa berpikiran konservatif, artinya segala perilakunya senantiasa dipandang dari sudut pengabdian.
Mereka masih tekun melaksanakan upacara tiap hari Senin, senam tiap hari Jumat, berseragam PSH dan Korpri, berangkat lebih awal dari muridnya, membiarkan gajinya dipotong untuk berbagai keperluan, dan lain sebagainya.
Bergulirnya sebuah era yang semrawut lantaran orang-orang negeri ini sama-sama memulai belajar berdemokrasi, menjadikan sosok guru secara evolusif berani berbicara dan menyuarakan isi hati. Bahkan banyak di antara teman guru, spontan senang jika dirinya dianggap reformis. Apalagi kalau ia berhasil menggalang kekuatan dan mendemo pemimpinnya. Dampak keberanian guru, seperti melakukan aksi menolak pimpinannya jika tidak dari kalangan pendidikan, menghadap Dewan beramai-ramai, melayangkan surat pengaduan, dan lain-lain merupakan salah satu bentuk aktualisasi diri.
Perilaku tersebut menunjukkan adanya pergeseran terhadap pemaknaan profesi guru. Guru sudah tak ingin dibuai dalam ayunan "pahlawan tanpa tanda jasa", namun ingin ada penghargaan profesinya secara holistik. Bukan hanya dalam bentuk peningkatan kesejahtreraan, namun lebih pada pemaknaan hakikat guru sebagai manusia berdimensi jamak, yakni sebagai makhluk individu, sosial, susila, dan beragama. Dalam konteks itu, maka guru sebaiknya tidak hanya berharap namun perlu menunjukkan aktivitas nyata dalam mengelola proses belajar-mengajar.

Dimensi Guru
Sebagai makhluk individu, guru diharapkan mengembangkan self existence yang bermuara pada peningkatan kompetensi personal, agar peserta didiknya mendapat berbagai kemampuan yang berhubungan dengan cipta (kognisi), rasa (emosi), karsa (konasi), dan keterampilan (psikomotor). Seperti: kegiatan-kegiatan ilmiah (penataran, seminar, penelitian), penciptaan hasil karya, penemuan metode dan media yang mengarah pada pembelajararan aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.
Sebagai makhluk sosial, guru diharapkan mengelola interaksi multi arah baik dalam proses belajar-mengajar maupun pergaulan di masyarakat. Apalagi pemberlakuan School Based Management, partisipasi masyarakat merupakan salah satu unsure utama dalam menentukan kemajuan sekolah. Di sinilah guru diharapkan dapat menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat. Bukan sebagai guru "sekolah" saja namun harus menjadi guru "masyarakat".
Guru sebagai makhluk susila bertalian dengan pentingnya menginternalisasikan nilai yang terkandung dalam pikiran, ide, gagasan yang terbukti baik, bermanfaat, dan diyakini kebenarannya sehingga senantiasa dihayati dan diamalkan dalam proses hidup bermasyarakat. Apalagi dalam istilah Jawa, guru merupakan sosok yang "digugu" dan "ditiru" sehingga keteladan dalam pikiran, ucapan, dan tindakan merupakan potret guru masa depan.
Sebagai makhluk beragama, sudah barang tentu menempatkan guru sebagai pribadi yang secara conditio sine qua non, harus beriman dan bertakwa kepada Sang Pencipta. Pentingnya peningkatkan iman dan takwa didasari atas hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan dan saratnya beban yang harus ditanggung guru dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Kado Istimewa
Ibarat sebuah perjalanan, empat dimensi hakikat manusia seperti terurai di atas merupakan rute yang harus dilewati guru. Ada kalanya guru berhenti di persimpangan jalan lantaran lelah, ada kalanya guru sejenak berhenti untuk melakukan evaluasi diri terhadap sejengkal langkah yang telah dilaluinya, dan ada kalanya pula guru memacu diri agar secepatnya mencapai tujuan. Semua tergantung pada pribadi guru dalam memaknai dirinya sendiri.
Di hari yang sepantasnya diperingati ini, ada baiknya guru melakukan intropeksi dan retropeksi, sejauhmana guru memaknai tugas dan tanggung jawabnya, baik tugas yang berhubungan dengan profesi (mendidik, mengajar, dan melatih), tugas kemanusiaan dan kemasyarakatan.
Tugas dan tanggung jawab yang dilaksanakan secara sungguh-sungguh, sudah barang tentu akan mendapatkan kado istemewa, yakni ucapan terima kasih, doa dan senyum manis dari seluruh anak negeri. Dirgahayu Guru Indonesia. Padamu, kuletakkan tumpuan untuk membangkitkan negeriku!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar